Rabu, 23 Januari 2008

Osamu Tezuka

BUDDHA, TUKUL, DAN DEKONSTRUKSI KEYAKINAN
Judul buku: BuddhaPengarang: Osamu TezukaPenerjemah: Asha FortunaPenyunting: Christina M. Udiani & Andya PrimandaPenerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007

Pastilah Osamu Tezuka tidak mengenal Tukul Arwana, pendagel di layar televisi itu; selain juga tak paham siapa Onèng, sosok perempuan lugu, naif, dan cenderung bodoh, yang dalam sinetron seri televisi Bajaj Bajuri dan Salon Si Onèng diperankan Rieke Dyah Pitaloka. Pasalnya, Tezuka, godfather komik Jepang ini sudah meninggal pada 9 Februari 1989, 61 tahun setelah kelahirannya di Prefektur Osaka, Jepang, 3 November 1928. Namun, atmosfer Tukul dan Onèng bisa didapatkan dalam cergam [cerita bergambar] – kata lain graphic novel – bertajuk Buddha.
Dalam Buddha jilid 4 [pagina 21], misalnya, isi dialog seorang tokoh yang sedang marah-marah berbunyi begini: “Kusobek-sobek mulutmu yang banyak cakap itu!” [cetak kursif/miring dari saya]. Ini sangat mengingatkan kalimat Tukul saat membawakan acara unjuk-wicara Empat Mata di stasiun televisi Trans7. Kalimat tersebut merupakan terjemahan dari “I’ll tear your big mouth in two!”
Lalu, dalam jilid yang sama di pagina 127, tokoh lain secara sengak mencandra para dayang istana yang dianggapnya bodoh: “Dayang-dayang itu Onèng semua!” Sosok Onèng, sebagaimana digambarkan seri Bajaj Bajuri dan Salon Onèng, adalah perempuan naif dan bloon. Sama persis dengan dialog yang ada dalam bahasa Inggris: “Court ladies are fools!”
Pola penerjemahan yang “tidak sama persis” dengan bahasa sebelumnya ini bisa dihitung sebagai kreativitas penerjemah, yang bisa saja menunjukkan kualifikasi yang tidak buruk, bahkan bagus sebagaimana pernah dilakukan penerjemah komik seri Tintin karya Hergé, yang antara lain menderetkan setumpuk kata-kata makian ala Kapten Haddock. Sama dan sebangun dengan penerjemahan dialog dalam Buddha jilid 6 [pagina 310] “Aku nggak bisa baca bahasa Indonesia” dari bahasa Inggris “Can’t read English”. Sumpah mampus, terjemahan English bukanlah Indonesia.
Tidak sebatas penerjemahannya yang kreatif “melabrak-labrak”; sepanjang delapan jilid cergam Buddha sendiri, aslinya, Tezuka sudah menyodorkan pelbagai “penabrakan” dan “labrakan” kreativitas itu. Dua hal terpenting penabrak-labrakan dalam Buddha ala Tezuka --seorang dokter --adalah anakronisme dan dekonstruksi cergam-it-self. Gambaran adegan putra raja yang membaca komik Mickey Mouse-Walt Disney [jilid 5 pagina 95] dan saran seseorang pada saudaranya yang dianggap teramat pintar agar mengajar di Harvard University [jilid 6 pagina 256] adalah sedikit contoh nyata anakronisme atau pengoplosan waktu lampau dengan waktu kini itu, lengkap beserta kebiasannya.
Keberadaan Universitas Harvard memang pada abad ke-17 --maknanya terhitung masa silam --toh sebagaimana pula keberadaan kartun Disney, keduanya ada dalam abad sesudah Almasih, sementara sejarah mencatat bahwa riwayat kehidupan Siddharta Gautama, bahkan pun kemudian setelah mendapatkan pencerahan dan menjadi Buddha Gautama, ada pada masa sebelum Masehi, tepatnya sejak dilahirkan pada tahun 623 SM.
Anakronisme lainnya muncul saat seorang pertapa mendapati Siddharta sedang mencecap sekujur tubuh telanjang seorang perempuan di sebuah goa agar semua zat busuk dan buruk dalam diri perempuan itu lenyap; sementara pertapa menganggap Siddharta sedang berlaku tak senonoh. “Mau bikin film porno?” sergah pertapa itu.
Sementara dekonstruksi terhadap cerita [dan] gambar itu antara lain lewat kisah Buddha yang tahan uji dari godaan perempuan cantik yang sesungguhnya jelmaan iblis. Argumentasi Buddha: dia tak melihat adanya bayangan dari perempuan jelita itu. Maka sosok-jelita-iblis itupun berucap: “Kadang-kadang ada saja yang lupa digambar. Oke?!” [jilid 6 pagina 209].
Jika dalam jilid 8 pagina 28 [terbit akhir Oktober 2007] disebutkan nama sineas kampiun [Steven] „Spielberg”, selain menegaskan anakronisme, hal tersebut juga menunjukkan adanya dekonstruksi atau setidaknya semacam pengetawaan terhadap diri sendiri lantaran adegan dalam cergam tersebut mengingatkan pada pengadeganan dalam salah satu film garapan Spelberg.
Untuk pengomik atau pencergam [istilah baku tahun 1970-an: cergamis] Indonesia yang memiliki spirit pencandaan dalam format dekonstruksi terhadap format cergam itu sendiri bisalah disebut nama Dwi Koen[doro], yang pernah mem[p]arodikan kisah-kisah film Indonesia maupun film impor yang dimuat di Majalah Stop. Yang dilakukan Dwi Koen tidak sebatas pemelesetan film James Bond From Russia with Love menjadi From Russia with Laugh, namun juga berupa komentar terhadap pengadeganan atau terhadap isi dialog melalui sosok-sosok kodok yang ada di pinggiran bingkai gambar. Artinya, komentar bahkan ledekan itu berada di luar kisah utama, sementara candaan ala Tezuka bahkan dilakukan oleh sosok-sosok utama kisah dalam cergam itu sendiri.
Pertanyaan yang perlu dimunculkan atas penerbitan Buddha adalah: juga terjadikah dekonstruksi terhadap babon kisah Buddha yang kadung diyakini publik? Dasar pertanyaan ini mengingat belakang hari kian banyak diterbitkan berbagai buku yang isinya bisa dianggap sebagai dekonstruksi terhadap agama atau keyakinan besar dunia --semisal novel Da Vinci Code [Dan Brown] yang mewacanakan bahwa Yesus Kristus berkawin dengan Maria Magdalena, berkeluarga, dan memiliki keturunan biologis; atau buku perihal kehidupan seksual para pastur yang berdasar akidah dilarang menikah; atau pembuktian sebuah rahasia bahwa Nabi Muhammad sesungguhnya bisa baca-tulis, tidak buta aksara sebagaimana selama ini diyakinkan dan diyakini. Rata-rata dekonstruksi dalam pelbagai buku kiwari atau masa kini cenderung sebagai delegitimasi, sementara wacana bahwa Nabi Muhammad tidak buta aksara bisa dimaknai sebagai dekonstruksi yang delegitimasi, bisa pula sebagai re-legitimation --tergantung argumentasi dan ijtihad yang melambarinya.
Jika Tezuka menggambarkan Siddharta sudah gelisah mencari jawab bagi rahasia kematian, rahasia rasa sakit, dan rahasia usia yang menjadi tua bahwa sejak masih pra-akil-baliq, sementara pakem babon bab Buddha mengisahkan kegelisahan itu terhitung sejak anaknya lahir, bagi saya itu bukanlah dekonstruksi, melainkan lebih sebagai varian sebuah versi. Bersejajar dengan masa pencapaian pencerahan Siddharta menjadi Samyaksam-Buddha --yang menurut versi Buddhisme Mahayana berbeda tanggal dan bulan dibandingkan versi Theravada atau World Fellowship of Buddhist.
Yang jelas, ada banyak sosok hebat di sekeling Buddha --baik untuk mendukungnya atau malah menelikung --digambarkan dalam cergam ini. Ada yang bisa memindah suksmanya sendiri memasuki badan orang lain atau bahkan bidang, ada yang bisa mengetahui kapan dirinya mati, ada pula perempuan gila yang selalu mengumbar auratnya di mana-mana, termasuk menggoda Buddha.
Buddha versi Kepustakaan Populer Gramedia [KPG] didasarkan pada versi bahasa Inggris terbitan Vertical Incorporation, sebuah penerbitan yang punya perhatian besar untuk menginggriskan karya-karya Jepang yang dinilai punya nilai kampiun. Pada 2004, Buddha dianugerahi Eisner Award, yang kompetisinya bertingkat internasional.
Saat versi Inggris diterbitkan kali pertama pada Oktober 2003, terbitan jilid-jilid berikutnya terhitung tidak begitu beraturan: jilid kedua muncul bulan berikutnya, lalu terbitan jilid ketiga butuh jeda empat bulan lebih dulu, diseling sebulan, lalu vakum tujuh bulan untuk jilid-jilid berikutnya, lantas tiga dan lima bulan untuk sampai pada jilid ketujuh dan kedelapan terbit dalam bulan yang sama, Desember 2005.
Tak jelas, memang, ketidakberaturan penerbitan itu dikarenakan minimnya minat pembaca atau karena harga jual yang relatif mahal untuk versi sampul berkertas tebal alias hardcover. Baru ketika diterbitkan ulang dalam format sampul paperback --kertasnya lebih tipis, harganya pun lebih rendah --penerbitannya terhitung konsisten saban dua bulan sekali untuk terbitan versi paperback atau sampul berkertas tipis, yakni sejak Mei 2006 hingga Juli 2007.
Masing-masing versi gambar sampulnya berlain-lainan, sehingga mudah diketahui yang ini paperback, yang itu hardcover. KPG sendiri --yang terbitan jilid pertama dan ketiga menggunakan gambar sampul versi paperback, sementara sampul versi hardcover dipakai untuk jilid keempat sampai kedelepan-tamat, dan versi kedua entah mengambil dari versi mana --juga terhitung konsisten menerbitkan semuanya dalam versi paperback sejak Maret 2007, saban akhir bulan. Hingga awal-pertengahan September ini, baru enam jilid yang beredar.
Dari dicetak minimal 10 ribu eksemplar --maknanya: menerabas „mitos“ tiras buku 3.000-an keping --jilid pertama bahkan memasuki cetak-ulang pada bulan keempat.
Kembali mengingat paragraf-paragraf awal, pertanyaannya adalah: adakah pembaca cergam Buddha adalah juga penyaksi tontonan televisi Indonesia-raya mengingat idiom Tukul Arwana dan si bloon Oneng dibawa-bawa? Pihak KPG memberikan gambaran bahwa yang bahkan melanggan Buddha adalah umumnya pekerja kantoran, usia 30-an --segmentasi yang sesungguhnya bukan menjadi sasaran utama KPG, yang membidik pasar penggemar atau maniak komik, khususnya komik Jepang alias manga, usia 12-18 tahunan, dari SLTP hingga mahasiswa. Dan KPG menyadari itu setelah memasuki bulan keempat.
Adakah para pembaca cergam Tezuka juga menyaksikan Tukul dan/atau Oneng dan/atau umumnya mata tayangan televisi? Entahlah. Pertanyaan yang saya balik ini bisa memunculkan jawaban dan logika yang tidak sama.

Tidak ada komentar: